Surau
atau langgar adalah pesantren kecil. Suasananya menjadi sebuah
nostalgia romantis bagi orang-orang yang pernah menjadi santri langgaran
sebelum tahun 90-an. Menjelang maghrib, anak-anak desa usia lima sampai
belasan tahun, datang ke surau-surau. Usai shalat maghrib mereka
mengaji al-Qur’an. Ada yang menghafal huruf Hijaiyah, ada yang mulai
mengeja suku kata, ada yang mulai membaca ayat-ayat pendek, adapula yang
sudah lancar membaca al-Qur’an. Satu per satu maju ke hadapan gurunya
untuk disimak, sementara yang lain membaca sendiri-sendiri. Suara gaduh
saling bersahutan, antara yang menghafal nama huruf, yang mengeja bunyi
huruf, yang mengeja rangkaian huruf, yang sudah lancar membaca
al-Qur’an, ditambah dengan bentakan guru langgar yang seringkali
melengking saat santrinya salah membaca.
Waktu
isya’ tiba, pengajian al-Qur’an dengan segala macamnya itu selesai.
Usai shalat Isya’, ada surau yang mengisinya dengan pengajian kitab Sullam-Safînah,
praktek shalat dan lain sebagainya. Sebagian lagi, ada yang santrinya
langsung pulang, adapula yang menginap di surau atau dalem lalu mengaji
lagi usai shalat subuh. Mereka baru pulang di pagi hari setelah selesai
membantu beberapa pekerjaan di rumah kiai atau ustadz, semacam menimba
air atau menyapu halaman. Pola mengaji semacam ini ada yang menyebutnya
dengan “santri kalong”, karena nyantrinya hanya di malam hari.
Ngaji
al-Qur’an di masjid maupun di surau-surau itu menyuguhkan suasana
pendidikan yang begitu tradisional. Pengajarannya menggunakan metode
Baghdadi. Metode ini membimbing pemula untuk mengenal nama huruf
hijaiyah, mulai dari alif hingga yâ’, kemudian
mengenal nama harakat dan bunyi huruf, bunyi rangkaian huruf, bunyi
rangkaian kalimat, hingga surat-surat pendek dalam al-Qur’an. Setelah
itu, santri mulai membaca al-Qur’an dari awal sampai hatam. Jadi,
pendidikannya lebih diarahkan pada tadarus atau mengkhatamkan al-Qur’an
dengan sistem yang mirip dengan sorogan (santri membaca, guru mendengarkan). Sedangkan riwayat qirâ’ah yang dipakai adalah riwayat Imam Ashim. Barangkali, tidak ada ngaji surau yang menggunakan riwayat qirâ’ah imam-imam yang lain. Riwayat qirâ’ah imam-imam lain itu biasanya diajarkan di pesantren yang memang dikhususkan untuk pendidikan al-Qur’an.
Dulu, ngaji
tradisional di masjid dan surau-surau itu merupakan satu-satunya
pendidikan al-Qur’an yang umum dilakukan di tengah-tengah komunitas
Muslim, terutama di daerah pedesaan Jawa dan Sumatera. Di sebagian besar
daerah, selain menjadi pusat kegiatan keagamaan, masjid dan surau juga
menjadi pusat pendidikan. Di Minangkabau, peran surau sangat mirip
dengan pesantren, yaitu menjadi tempat penginapan anak-anak dan menjadi
tempat mereka mendapat pendidikan keagamaan di malam hari. Dalam sejarah
berdirinya pesantren-pesantren di Jawa dan Madura, tidak jarang
pesantren yang sejarahnya dimulai dari berdirinya sebuah surau.
Di
Madura, surau (langgar) memiliki fungsi tambahan, yaitu untuk menerima
tamu dan tempat bersantai keluarga. Di Madura, langgar merupakan
bangunan ‘wajib’ bagi setiap keluarga. Berbentuk bangunan cangkruk,
mirip dengan rumah adat di Kalimantan, tapi kolongnya agak lebih
rendah. Masing-masing keluarga memiliki langgar sendiri-sendiri sebagai
tempat shalat, kegiatan ibadah massal semacam maulid dan tahlil, untuk
menerima tamu dan tempat berkumpulnya anggota keluarga. Fungsi yang
terakhir ini sudah nyaris hilang karena pengaruh televisi. Saat ini,
anggota keluarga lebih senang berkumpul di depan televisi daripada
bercengkerama di langgar rumahnya.
Karena
langgar sudah menjadi bagian wajib dalam struktur kerumahan di Madura,
maka tidak semua langgar menyelenggarakan pendidikan al-Qur’an ataupun
keagamaan yang lain. Hanya langgar-langgar tertentu saja yang menjadi
tempat pendidikan anak-anak. Biasanya langgar milik kiai, ustadz, atau
tokoh masyarakat di desa itu.
Pendidikan
al-Qur’an di masjid dan surau-surau itu merupakan pendidikan
tradisional yang diselenggarakan tanpa menggunakan tetek bengek
administrasi pendidikan. Tidak ada jenjang yang dibatasi oleh waktu,
tidak ada silabus dan kurikulum, tidak ada struktur kepengurusan, tidak
ada kelulusan, apalagi buku rapor. Santri boleh mengaji di masjid atau
surau itu sampai kapanpun dan tidak ada istilah lulus ataupun wisuda.
Tidak ada SPP, yang ada hanya iuran minyak tanah untuk lampu.
Saat
ini, pendidikan al-Qur’an tradisional di surau-surau itu sudah tidak
sesemarak duapuluh tahun yang lalu. Pendidikan masjid/surau, yang dulu
menjadi satu-satunya pendidikan al-Qur’an, sudah mulai tergeser oleh
munculnya TPQ-TPQ (Taman Pendidikan Qur’an) atau TPA-TPA (Taman
Pendidikan al-Qur’an). Sistem pendidikan al-Qur’an di TPQ-TPA mirip
dengan Taman Kanak-kanak (TK) dan lebih klasikal dibanding pendidikan
al-Qur’an di surau-surau. Biasanya, diselenggarakan sore hari dan diatur
dengan manajemen yang mirip dengan madrasah. Sebagian besar, pendidikan
TPQ-TPA itu diselenggarakan di gedung tersendiri, namun adapula yang
masih diselenggarakan di masjid ataupun surau.
Tidak
diketahui dengan pasti sejak kapan pendidikan al-Qur’an di Indonesia
mulai berubah menjadi lebih klasikal. Yang jelas, pendidikan al-Qur’an
berubah drastis, dari segi sistem maupun metode, sejak kira-kira 10
tahun terakhir.
Sebelum tahun 90-an, pendidikan al-Qur’an masih sangat didominasi oleh ngaji tradisional
di masjid, langgar atau surau-surau. Setelah tahun 90-an, mulai
bermunculan TPQ (Taman Pendidikan Qur’an) atau TPA (Taman Pendidikan
al-Qur’an) yang cenderung lebih klasikal dibanding ngaji Qur’an tradisional yang berkembang di masjid dan surau-surau. Menurut data yang disebutkan oleh pengelola metode Qiroati, pada tahun 1986, KH. Dachlan Salim Zarkasyi, penemu Qiroati,
sudah melakukan wisuda terhadap 22 orang anak lulusan TK al-Qur’an di
Semarang. TK ini disebut-sebut sebagai TK al-Qur’an pertama di
Indonesia.
Kahadiran
TPQ-TPA membawa perubahan segar bagi pendidikan al-Qur’an setidaknya
dalam dua hal, yaitu: sistem dan metode. TPQ-TPA menggunakan sistem
pembelajaran yang lebih rapi dan terencana.
Metode pendidikan al-Qur’an di TPQ-TPA berbeda jauh dengan ngaji langgaran beberapa puluh tahun yang lalu. Dalam ngaji langgaran,
pendidikan al-Qur’an dimulai dengan mengenal nama huruf, sedangkan di
TPQ-TPA, pendidikan al-Qur’an dimulai dengan mengenal bunyi huruf.
Saat ini, perbedaan metode itu sudah mulai hilang, sebab ngaji langgaran yang
dulu menggunakan metode Baghdadi (mengenal nama huruf) sekarang sudah
banyak yang beralih menggunakan metode pengenalan bunyi. Secara umum,
metode ini dianggap lebih cepat dalam menuntun anak bisa membaca
al-Qur’an dibanding metode pengenalan nama huruf dan harakat.
Buku
panduan pendidikan al-Qur’an yang digunakan dalam metode pengenalan
bunyi, sangat beragam. Beberapa buku panduan yang banyak dipakai di
antaranya adalah: Qiroati, Iqra’, al-Qalam, Tilawati dan al-Barqi. Dari sekian banyak buku panduan itu, Qiroati memiliki sistem organisasi yang lebih ketat dan rapi. Qiroati
menerapkan kontrol dan sertifikasi guru, memiliki perwakilan wilayah
dan membangun sinergi antar lembaga-lembaga yang menggunakan Qiroati. Namun demikian, tidak sedikit lembaga pendidikan al-Qur’an yang enggan menggunakan Qiroati karena tidak dijual bebas dan sulitnya prosedur untuk mendapatkan buku ini.
Dibalik Redupnya Surau dan Munculnya TPQ
Semakin semaraknya TPQ-TPA dan agak redupnya ngaji langgaran bisa
jadi merupakan perkembangan menarik di bidang pendidikan al-Qur’an.
TPQ-TPA bisa berperan menghidupkan pendidikan al-Qur’an di daerah kota,
sebab orang-orang kota memang cenderung memilih pendidikan yang lebih
sistematis dan modern. TPQ-TPA bisa menjadi mesin untuk mencetak
generasi Muslim Qur’ani, atau minimal bisa membaca al-Qur’an dengan
baik.
Namun demikian, semaraknya TPQ-TPA sampai ke desa-desa sedikit banyak berimbas pada redupnya ngaji al-Qur’an di surau-surau. Tentu saja ada sesuatu yang hilang, jika hal itu terjadi. Sebab, selain merupakan kekayaan budaya, ngaji langgaran merupakan
pendidikan tradisional yang dalam banyak hal sangat mirip dengan
pesantren. Pendidikan asli pesantren adalah pendidikan surau, sedangkan
pendidikan klasikal madrasah, baru dipakai oleh pesantren sejak
awal-awal Abad 20. Ngaji langgaran itu pula yang konon banyak
menjadi cikal bakal berdirinya pesantren-pesantren salaf di Indonesia.
Surau juga menjadi simbol religiusitas masyarakat sebagaimana masjid.
Melihat
latar belakang ini, maka pendidikan tradisional di surau tidak boleh
mati. Surau harus juga disemarakkan sebagainya TPQ-TPA yang terus
semarak. Jika pendidikan surau mati, maka hal itu jelas merupakan kabar
buruk bagi tradisionalitas pendidikan di pesantren, karena beberapa
corak pendidikan surau, seperti santri kalong, pengajian kitab Sullam-Safînah, adalah tangga menuju pesantren.
Jika
pendidikan surau atau langgar dengan segala tradisionalitasnya terus
redup, pendidikan pesantren bisa jadi kehilangan salah satu kakinya.
Lalu, jika pendidikan surau punah, apakah cikal-bakal
pesantren-pesantren salaf di Indonesia akan lahir dari gedung TPQ, TPA
atau TK al-Qur’an? Cukup sulit dibayangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar